Bismillahirrahmannirrahiim
Definisi jiwa yang tenang menurut Tafsir al-Maraghi
Menurut Tafsir al-Maraghi, Muthma’innah adalah ketenangan jiwa setelah adanya kegoncangan. Maksudnya adalah ketetapan pada apa yang telah dipegang setelah menerima goncangan akibat paksaan.
Sudut pandang serta pengalaman hidup
Pertama, sebelum kita membahas soal ketenangan jiwa perlu kita bahas pula mengenai kata hati. Tentu kita perlu membersihkan dulu yang namanya kata hati. Kalau, kita berbicara soal kata hati kita akan membayangkan hati kita berkata-kata, yang mengeluarkan kalimat “seperti ini, seperti itu, dan lain sebagainya.
Sebenernya , yang dapat berkata-kata adalah akal bukan hati, hati tidak dapat berkata-kata, hati hanya dapat merasakan. Rasa sedih itu ada sebelum ada kata sedih, misalnya begitu.
Jadi jangan pernah mencoba menunggu hati berkata sesuatu, belajar merasakan terlebih dahulu.
Kalau otak tidak berhenti bersuara, bagaimana kita bisa mendengarkan hati. Menurut saya PR paling sulit adalah mendiamkan otak agar tidak “cerewet”.
Terkadang dalam menghentikan laju otak untuk berbicara dan berpikir terdapat banyak metode seperti metode wirid, tapa, dan lain-lain. Sehingga otak capek untuk berbuat sesuatu. Nah, momen tersebut ketika diam , ada rasa yang keluar dan rasa yang keluar tidak mudah diterjemahkan menjadi sesuatu yang bisa kita pahami secara akal. Kenapa?
Karena kalau akal, semua yang dari lahir kita berpengaruh. Seperti pilihan kata, pilihan Bahasa, arti dari kata, konteks dari kejadian. Itu semua berpengaruh pada cara akal berpikir, kalau rasa itu apa adanya. Contohnya adalah bayi nangis.
Kata Hati
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kata hati? Lihatlah sesuatu sebagai apa adanya. Hal tersebut terlihat sederhana. Akan tetapi, menurut saya itu adalah tingkatan yang sangat susah. Kenapa? Karena kita melihat sesuatu, itu pasti punya konsep kemudian disini. Misalnya saja kalau saya ngomong mangga,. Langsung keluar dipikiran kita mangga apa? Ada mangga manalagi, mangga apa, apa dan seterusnya. Kalimat sama namun output dari otak akan berbeda-beda.
Hubungannya dengan islam
Menurut saya, kalau islam mengajarkan ikhlas, mengajarkan berserah kepada Tuhan. Itu membuat kita pada sebuah posisi kita melihat sesuatu sebagai apa adanya. Observer, apa adanya. Dimana ketika menjadi observer tidak punya kesimpulan bahwa ini lebih benar, ini salah.
Contoh kalau kita dicurhati akan lebih mudah memecahkannya. Kenapa? Ksrena kita tidak terlibat disitu, kita sebagai observer, mudah banget melihat apa adanya.
Oleh karena itu untuk mendengarkan kata hati kita harus bisa menghentikkan “cerewet”nya otak.
Jiwa yang Tenang
Yang benar benar bisa mendengarkan kata hati adalah jiwa yang tenang. Seperti permukaan danau yang tenang ada 1 tetes air, dia akan tahu ada 1 tetes air. Tapi , jika permukaannya bergolak ada hujan dia tidak akan tahu kalau kejatuhan informasi. Jika airnya tenang(observer) maka 1 tetes air pun dia akan tahu. Lalu bagaimana caranya kalau hati tidak berbicara? Anda yang bisa merasakan komunikasi dengan hati anda sendiri gimana.
Dengan berdzikir, kita akan merasakan ketenangan jiwa. Kenapa bisa begitu? Misal kita diperintahakan seorang kyai untuk berdzikir al-baqoroh 60.000x misalnya dan kita putus asa pada bacaan pertama. Tapi karena perintah kyai kita tidak bisa menghentikan itu, kita harus melakukannya. Meskipun putus asa tetap dilakukan bergolak luar biasa, akhirnya menyerah dan capek. Ketika sudah capek kita akan melakukannya pada akhirnya hingga selesai. Salah satunya adalah membuat putus asa otaknya agar hati ini bisa merasakan ketenangan jiwa sehingga nanti kita bisa tahu jika kejatuhan informasi.